
JAKARTA - Permintaan untuk memperjelas status dana dalam Sub Rekening Efek (SRE) WanaArtha yang disita Kejaksaan Agung terus mengemuka. Pemisahan antara dana yang dicurigai terkait kejahatan pidana dengan dana nasabah harus secepatnya dilakukan.
Kejaksaan dinilai tak seharusnya membekukan rekening korporasi WanaArtha begitu saja, agar tak makin membuat mayarakat dirugikan akibat dana investasinya tersandera. Hans Kwee, Pengamat Pasar Modal memahami, tujuan penyitaan dan pembekuan rekening yang dilakukan Kejagung adalah untuk mengamankan pengembalian kerugian negara akibat kasus Jiwasraya.
Akan tetapi, lanjutnya, bukan berarti semua dana dalam rekening, di luar jumlah kerugian negara juga ikut dibekukan. Ia memandang, seharusnya tak semua orang harus jadi korban dan dilibatkan dengan kasus yang terjadi, hanya karena membeli saham yang kebetulan sama dengan yang dimiliki Jiwasraya atau dimainkan grup tertentu.
"Mereka kan tidak terlibat itu. Sehingga bisa beroperasi kembali dengan normal. Jika ternyata memang mereka terlibat konspirasi dan merugikan negara, maka harus ditegakan secara hukum, dibuktikan mereka terlibat dan dihukum," tutur Hans Kwee dalam keterangan tertulis yang dikutip Kamis 29 Oktober.
Ia menyesalkan berlarutnya kasus ini dan pembekuan rekening yang terjadi. Karena jikapun dibuka sekarang dibuka, WanaArtha Life punya masalah tersendiri karena nilai investasinya sudah turun.
"Belum lagi gara-gara kasus ini kepercayaan mereka turun. Sebaiknya segera dirapikan. Rekening yang di-freeze banyak loh. Ya mereka juga dirugikan. Jadi kalau sudah selesai, lebih baik blokirnya dibuka saja," ujar Hans.
Dekan FH Universitas Pakuan Bogor ini menambahkan, jika seandainya penyidik punya bukti, uang hasil kejahatan Benny dimasukkan ke WanaArtha, maka harus ditelusuri, diblokir atau dibekukan.
"Penyitaan di perusahaan harusnya penyidik hati-hati, kalau semuanya, bisa jadi collaps, bisa ada PHK, memang kalau TPPU harus lebih hati-hati dibanding kasus korupsi. Ada transaksi tanggal sekian sampai tanggal sekian, pada tahun itu, ya itu saja yang dibekukan," jelas Yenti.
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) ini berpendapat, apabila uang yang ditelusuri bercampur dengan uang yang sah, sebenarnya di industri keuangan bisa dihitung.
"Harus sesuai dengan jumlahnya itu, termasuk bunganya misalnya. Jadi harus melindungi juga pihak ketiga yang beritikad baik dan mendukung penegakan hukum. Ini yang juga menjadi pelajaran," tuturnya.
Yenti sendiri mengaku heran dengan isi tuntutan jaksa dalam kasus Jiwasraya. Dalam kasus ini, Benny dituntut hukuman penjara seumur hidup dan denda sebesar Rp5 miliar subsider 1 tahun kurungan. Selain itu, JPU menuntut majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp6,078 triliun.
"Sudah ada denda Rp5 miliar, lalu ada pidana tambahan Rp6 triliun, itu kenapa ada subsidernya, sementara pidana tambahannya sudah Rp6 triliun. Apakah Jaksa takut vonis hakim tidak seumur hidup atau bagaimana? Ini seperti semena-mena juga,” imbuhnya.
Posting Komentar