
JAKARTA - Pelaksaanaan perdana vaksinasi COVID-19 secara nasional pada Rabu, 13 Januari lalu membawa harapan besar, tidak terkecuali bagi sektor perekonomian. Melalui upaya tersebut diharapkan bisa menjadi titik balik upaya percepatan pemulihan.
Maklum saja, kondisi pandemi sama sekali tidak pernah terbanyang bakal memberi dampak ‘rusak’ yang cukup hebat bagi perekonomian. Sebagai bukti adalah bagaimana kondisi perkonomian pada sepanjang tahun lalu.
Pemerintah bahkan sampai mengeluarkan Perpres 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur APBN 2020 guna mengakomodir beberapa penyesuaian yang ada. Defisit anggaran diperlebar hingga 6,3 persen, jauh dari angka ketetapan sebelumnya yang diatur sebesar 3 persen.
Benar saja, pendapatan negara selama 2020 tercatat sebesar Rp1.633,6 triliun. Sedangkan untuk sisi belanja diketahui senilai Rp2.589 triliun. Catatan ini membuat defisit APBN 2020 berada di angka Rp956,3 triliun atau 6,09 terhadap PDB (produk domestik bruto).
“Kebijakan extraordinary kali ini difokuskan untuk membantu masyarakat serta dunia usaha pulih dan bangkit,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers realisasi APBN 2020, Rabu, 6 Januari.
Secara umum, gambaran makro ekonomi dalam koridor fiskal 2020 adalah sebagai berikut:1. Pertumbuhan ekonomi -1,7 persen hingga -2,2 persen (year-on-year)2. Inflasi 1,68 persen (year-on-year)3. Tingkat suku bunga SPN 3 Bulan 3,19 persen4. Nilai tukar Rp14.577 per dolar AS5. Harga minyak mentah Indonesia 40 dolar AS per barel6. Lifting minyak 40.000 barel per hari7. Lifting gas 983 ribu barel setara minyak per hari
Acuan yang menjadi penentu pemulihanChief Economist and Investment PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina Setiawan mengatakan terdapat lima acuan yang bisa dijadikan pegangan sebagai penentu percepatan pemulihan ekonomi Indonesia pada sepanjang tahun ini.
Pertama adalalah dari sisi kebijakan moneter dan fiskal. Menurut dia, segmentasi yang dipegang oleh pemerintah ini merupakan unsur penting dalam menstimulus perekonoian.
“Dari sisi moneter kami percaya Bank Indonesia akan menjaga sikap akomodtif dengan menjadi standby buyer dalam lelang obligasi pemerintah. Sedangkan instrumen fiskal masih akan memberi dukungan terhadap proses pemulihan ekonomi nasional dengan komitmen dana PEN (percepatan ekonomi nasional) sebesar Rp372 triliun atau 2,3 persen terhadap produk domestik bruto,” ujarnya dalam seminar daring, Kamis, 14 Januari.
Lebih lanjut, Katarina menyebut acuan kedua adalah upaya pemerintah dalam menjaga kondisi makro ekonomi tetap stabil melalui pengadaan vaksin. Dalam catatannya, negara menargetkan dapat memvaksin 40,2 juta orang hingga April 2021. Lalu meningkat hingga 141 juta orang pada akhir Mei 2021.

“Peningkatan kepercayaan orang terhadap efektivitas vaksin mendorong masyarakat untuk berkegiatan ekonomi. Jika ini semua berjalan maka roda ekonomi pasti bergerak, permintaan kredit akan naik, sehingga dunia usaha bisa meningkatkan produksi barang dan jasa mereka,” tuturnya.
Adapun, acuan yang ketiga adalah pergerakan nilai rupiah yang stabil. Menurut analisanya, nilai tukar akan tetap terjaga dengan memperhatikan faktor dolar AS yang masih lemah akibat kebijakan akomodatif The Feds, berkurangnya tekanan neraca berjalan, inflasi yang rendah, serta terkoreksinya kepemilikan asing terhadap aset finansial Indonesia.
“Namun perlu diingat, tekanan neraca berjalan yang landai akibat impor menurun. Seiring dengan pemuliahan ekonomi, pasti impor akan kembali bergeliat karena Indonesia membutuhkan barang modal untuk berkegiatan produksi, khususnya industri,” ucapnya.
Jika hal itu terjadi, Katarina memastikan defisit perdagangan pada sepanjang tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan dengan periode 2020.
Selanjutnya yang keempat terkait penerapan omnibus law. Pada acuan yang cenderung sensitif ini Katarina justru melihat peluang peningkatan produktivitas dari industri di Tanah Air. Sebab, regulasi ini dipercaya dapat meningkatkan daya saing Indonesia guna menggaet investasi asing ke dalam negeri.
“Omnibus law berpotensi mengubah Indonesia menjadi mata rantai penting dunia. Ketepatan eksekusi menjadi sangat penting dalam memastikan reformasi sistem tenaga kerja dan industri bisa terimplementasi dengan baik,” terangnya.
Kemudian yang terakhir adalah soal kembalinya dana portofolio asing yang diharapkan bisa menjadi penyokong dan pelengkap investasi pada sektor riil.
“Arus berita terbaru terkait vaksin dan dukungan pemerintah serta bank sentral dalam mendorong perekonomian di masa pandemi telah memicu pergeseran sentimen terhadap pasar finansial emerging market, termasuk di dalamnya Indonesia,” jelas Katarina.
Atas hal tersebut, bos Manulife itu optimistis pasar keuangan domestik dapat lebih kuat menyerap investasi asing karena sejumlah kebijakan yang bersifat akomodatif.
“Ke depan potensi inflow masih terbuka bagi Indonesia mengingat kepemilikan asing pada pasar saham dan obligasi yang relatif rendah. Belum lagi imbal hasil yang cenderung menarik dibandingkan dengan negara mature lainnya,” tutup Katarina.
Pilihan investasi 2021Pasar keuangan masih menjadi lini investasi yang cukup seksi untuk mendatangkan cuan pada sepanjang 2021. Beberapa yang bisa dilirik adalah sektor komoditas, telekomunikasi, dan perbankan.
Prospek cerah pasar keuangan khususnya saham tercermin sentimen positif pelaku pasar atas proses vaksinasi di berbagai negara termasuk Indonesia.

Adapun, sektor komoditas andalan yang bisa jadi rekomendasi adalah industri minyak, batubara, dan logam industri. Hal tersebut diungkapkan oleh Senior Portofolio Manager PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Samuel Kesuma.
“Permintaan nikel yang baik untuk pembuatan baterai mobil listrik membawa sinyal positif sektor komoditas mineral dan pertambangan,” ujarnya dalam webinar, Kamis 14 Januari.
Sektor selanjutnya yang diproyeksi bakal memberi cuan kepada shareholder adalah telekomunikasi yang menunjukan penguatan di masa pandemi seiring dengan pemberlakuan PSBB. Kebutuhan masyarakat akan paket data internet menjadi indikasi kuat meningkatnya kinerja emiten telekomunikasi.
Terakhir adalah sektor perbankan. Tidak bisa dipungkiri industri perbankan saat ini mempunyai daya tahan terhadap shock yang lebih baik dibandingkan dengan krisis ekonomi 1998. Sektor perbankan dinilai telah berada dalam taraf mature dengan kondisi likuiditas tebal. Berbeda saat era reformasi dulu.
“Buktinya adalah bank masih berani menurunkan suku bunga, serta laju pertumbuhan kredit masih single digit. Ini artinya likuiditas menumpuk di bank,” kata Samuel.
Di samping itu, sektor jasa keuangan perbankan masih dapat beroperasi optimal di masa pemberlakukan pembatasan sosial berskala besar. Nilai tambah lain yang ditawarkan oleh sektor ini adalah semakin masifnya transaksi perbankan secara digital seiring dengan peningkatan belanja secara daring.
Posting Komentar