Bunga Akan Bernyanyi
jangan lupa simpan bekas percakapan
malam kemarin, lalu uraikan jika kita
jumpai pertemuan yang lain. ingat pula
kursi dan meja pernah kita pilih hingga
ke kaki-kaki kursi meja itu setiap suku kata
tak abai dicatat. lalu seseorang yang tiba
mengingatkan: ’’sebaiknya hapus
percakapan itu, sebelum orang lain
mendengar atau mengambil.’’
bukankah percakapan malam kemarin
itu di halaman ini, sebuah layar telepon
genggam, dan tak seorang mencuri
catatan. kecuali tamu lain berpura-pura
mengemis, sambil merekam setiap
kalimat dari meja ini. karena lalai kita
biarkan berserak. seperti guntingan bunga
ditabur di depan pintu. pendatang menginjak,
atau memungutnya untuk persembahan
pada kekasih
’’sebaiknya selalu waspada, dinding ini
lebih tajam dari telinga kita. tembok ruangan
ini lebih cekatan dari mata dengan tangan
ini. kita akan dikurung kata-kata, kota
akan penuh api karena percakapan kita.’’
hati-hati, tak perlu terlalu percaya
di halaman sepi pun. bunga akan bernyanyi
dinding akan cepat mengabarkan
17 Januari 2021; 02.30
—
Pelajaran Dari Kursi
–kekuasaan selalu akan mengajarkan padamu cara mempertahankan–
sebuah buku tak pernah kubuka
kini ingin sekali kubaca. sudah lama
kulupakan segala kursi yang buatku
jadi malas menengok taman dari jendela
(kadang kusibak pintu),
sebab di kursi
ini yang kuterima dari perajin
aku bisa berlama-lama; terlelap dan
sering lupa berdiri– hanya untuk
meludah, kencing, berak! di meja ini
segala makanan yang kau saji,
selahap-lahap kulantakkan. karena
kau ajarkan begitu cara menjaga
menjaga rambut, merawat tubuh,
merapikan meja, menahan kursi
dari orang-orang yang datang
’’ia bukan pemilik dan dilarang
memiliki kursi di sini!’’ selalu kukatakan
begitu setiap yang datang
sejak itu…
2021
—
Arah Matahari Yang Melangkah
aku berjalan, kini kuikuti arah
matahari yang melangkah
dari timur. setelah lesap aku
berhenti. di sebuah kota yang
tak pernah padam cahayanya
sebuah kota, kau namakan, seribu
cahaya [kataku sejuta cahaya] sebab
tak kulihat jadi kelam, dan aku
meraba bagaikan si buta di jalan
gelap. bahkan kuseret kakiku
tanpa sandal atau sepatu. tapi, tiada
memar. biarpun panas, namun tak
terasa bara. angin sepoi, debu tak
mampu menempel di bajuku
dan kerongkonganku selalu basah
karena zamzam yang sejuk
aku melangkah kini di bawah matahari
yang melangkah di atas kepalaku
menuju langit akhir. matahari lesap
dan aku justru berdekap
di dalam kelimunan orang yang
berputar pada porosnya. serupa
derap jam yang menghitungi angka-angka
di hatiku
—
ISBEDY STIAWAN ZS,
lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan sampai kini masih menetap di kota kelahirannya. Buku puisinya, Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI (2020) dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua dinobatkan sebagai 5 besar buku puisi pilihan Tempo (2020).
Posting Komentar